Mendadak jari tanganku dingin semua.Wajahku merah padam. Wanita setengah baya itu merenggangkan bibirnya, ia terengah-engah, ia menikmati dengan mata terpejam.“Mbak Hawin telepon..,” suara wanita muda dari ruang sebelah menyalak, seperti bel dalam pertarungan tinju.Mbak Hawin merapihkan pakaiannya lalu pergi menjawab telepon.“Ngapaian sih di situ..?” katanya lagi seperti iri pada Hawin.Aku mengambil pakaianku. Bokep barat Aku masih mematung. Mungkin sapu tangan ini saja suatu kealpaan. Aku tidak menjepit tubuhnya. Aku langsung memasukkan ke saku baju tanpa mencermati nomor-nomornya. Ia hanya menampakkan diri separuh badan.“Mbak Hawin.., aku mau makan dulu. Atau kesialan, karena ia masih mengangkat tabloid menutupi wajah? Aku terpejam menahan air mani yang sudah di ujung. Makin lama makin jelas. Hari itu memang masih pagi, baru pukul 11.00 siang, belum ada yang datang, baru aku saja.Aku menanti dengan debaran jantung yang membuncah-buncah. Betul-betul keras. Suara yang kukenal, itu kan suara yang meminta aku menutup kaca angkot. Tidak akan hadir kesempatan ketiga. Napasnya tersengal. Baru saja aku memasang ikat pinggang, Hawin menghampiriku sambil berkata, “Telepon aku ya..!”Ia menyerahkan nomor telepon di atas kertas putih yang disobek sekenanya. Aku makin membenamkan wajah di atas tulisan majalah.“Halo..!” suara itu mengagetkanku. Ah sialan. Aku tiduran sambil baca majalah yang tergeletak di rak samping tempat tidur kecil itu.
